TAFSIR
Oleh : Cak Nun
Suara kokok ayam versi orang Madura itu "kukurunuk", orang Sunda "kongkorongkong", orang Jawa "kukuruyuk". Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.
Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengarannya berbeda terhadap suara kokok ayam tadi.
Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayam. Antara tafsir 'kukuruyuk', 'kukurunuk' dan 'kongkorongkong' harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.
Maka sebenarnya tidak ada tafsir yang betul betul benar atau benar-benar betul, nek wong Jowo, bener bener pener. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.
Pandai-pandailah membedakan mana agama, mana terjemahan syariatnya, mana fiqihnya. Fiqih pun banyak versinya, fiqih A, fiqih B, dst. Tapi tetap default-nya adalah Al Qur'an. Sedangkan hadits itu diidentifikasi, dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad.
Jadi hadits itu berdasar katanya. Katanya ulama itu, perawi itu. Ada yang lulus, ada yang tidak. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits, yang lulus di bawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira tidak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur'an yang dipakai.
Maka hadits pun harus diverifikasi. Apalagi jaman dulu tak ada alat perekam. Jadi kalimatnya tidak sama persis dengan yang tercantum di kitab hadits. Hanya Al Qur-an yang kalimatnya sama persis dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan tak bakalan bisa diubah.
"Saya sering bilang, jangan percaya sama saya, saya cuman mengantarkan sejumlah bahan dan cara berpikir supaya kamu mengolahnya. Nanti kamu akan menemukan apa yang kamu percaya secara otentik dari pikiran dan hatimu sendiri. Jangan percayanya kepada saya, " kata Cak Nun.
"Penjelasan saya itu khan menurut saya. Anda juga boleh menurut Anda, asal baik. Anda selalu berpikir bahwa jawaban saya itu kebenaran. Itu salah. Sama-sama belum tentu benar. Yang membuat kita sampai ke Allah adalah kita beritikad baik di dalam yang belum tentu benar itu. Tidak apa-apa nggak benar-benar banget. Presisinya nggak harus pas banget, hadap kiblat 24.5 derajat, akhirnya ke mana-mana bawa garisan," imbuh beliau.
Jadi antara kita dengan Tuhan jangan ada siapa-siapa. Kita sama Tuhan itu langsung. Bahwa kita mendengarkan kyai, ulama, ustadz itu wacana, tapi mereka tidak mewakili kita. Dan mereka tidak bisa menyelamatkan kita.
Apakah kyai bisa menyelamatkan kamu? Apakah ulama bisa menyelamatkanmu? Tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa.
"Saya tidak mau ada di antara Anda dengan Tuhan," kata Cak Nun.
Susahnya pimpinan-pimpinan agama suka bertempat di situ. Menjadi 'gerhana' di antara Tuhan dengan umatnya. Karena di situ ada jabatan, kepemimpinan, akses eksistensi dan ekonomi.
"Saya bicara begini supaya Anda percaya sama Allah, bukan percaya sama saya. Makanya saya jangan jadikan panutan. Yang bisa kau ambil dari saya adalah sebagian yang relevan untukmu, sebagian kecenderungan saya yang pas untuk kamu. Dan itu sebenarnya kamu tidak meniru saya, tapi pihak yang sebelum saya: Nabi atau Tuhan sendiri, bukan saya. Saya cuma akselerator dari nilai dan kecenderungan itu," tegasnya lagi.
Kesimpulannya, kebenaran itu tidak pada siapa pun. Kecuali pada keputusan terakhirmu masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah.
Kamu boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan kayak apa pun, boleh melakukan apa pun setelah itu.
Tapi sebenarnya yang dinilai adalah bahwa itu menjadi keputusanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar